GpOpBUdpGSz7TfA0TSG7TpAlTi==

Headline:

Sate Klatak, Sate Lezat Khas Jogjakarta yang Bikin Rindu

Sate klatak, sate ikonis dan anti-mainstream khas Jogjakarta. (Badiatul Muchlisin Asti)
Sate adalah salah satu kuliner ikonis Indonesia yang memiliki banyak varian. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliiki versi sate masing-masing dengan ciri khusus tertentu, terutama ditinjau dari aspek bahan, bumbu, teknik pembuatan, dan pelengkapnya.

Jogjakarta termasuk daerah yang memiliki versi sate dengan cita rasa kelezatan yang khas. Perjalanan kuliner menjelajah rasa Nusantara, mengantarkan saya mencicipi sate khas Jogjakarta yang sudah masyhur dari sisi publisitas maupun dari sisi cita rasa kelezatannya.

Sate Klathak, Sate Kambing Khas Jogjakarta

Sate klathak, ya sate klatak, sate kambing versi Jogjakarta yang unik dan ikonis. Sate klathak adalah prototip sate kambing dengan penampilan, bumbu, dan pelengkap yang—menurut saya—anti mainstream dibanding sate kambing pada umumnya.

Dalam buku saya, Riwayat Kuliner Indonesia, Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi (2022), saya menyebutkan setidaknya ada empat karakteristik sate klathak yang membuatnya berbeda dengan sate kambing pada umumnya:

Pertama; tusuk sate atau sujen yang digunakan bukan berasal dari bambu pada umumnya, melainkan menggunakan ruji (jeruji) sepeda.

Kedua; dagingnya tidak dipotong dadu, melainkan dipotong melebar dan relatif lebih besar.

Ketiga; karena daging dipotong lebih besar, maka dalam penyajiannya, satu porsi sate klathak cukup 2 tusuk sate (berisi 12-16 potong daging)—tidak 10 tusuk sate pada umumnya.

Keempat; sate disajikan dengan kuah gulai.

Satu lagi, bumbu dalam sate klathak tergolong minimalis. Sebelum dibakar di atas bara, potongan daging kambing yang sudah ditusukkan ke sujen, direndam dalam bumbu yang terdiri dari bawang putih, garam, dan air, baru kemudian dibakar.

Meski bumbunya minimalis, namun kelezatannya sudah teruji dan terbukti. Sate klathak sudah sangat masyhur kelezatannya, sehingga menjadi salah satu target kulineran para pelancong saat berkunjung ke Jogjakarta.

Seporsi sate klathak biasa disajikan dengan nasi hangat dan kuah gulai. Daging satenya empuk, sangat cocok dicocol dengan kuah gulai yang gurih.

Asal-usul Sate Klathak Sejak 1940-an

Dari sisi historis, sate klathak pertama kali dikreasi dan diperkenalkan oleh Hamzah—atau kemudian populer dengan sapaan Mbah Ambyah, sejak tahun 1940-an. Ceritanya, sekitar tahun 1930-an, Mbah Ambyah dikenal sebagai seorang kusir andong (kereta kuda) dengan rute Bantul – Kota Jogjakarta. Pekerjaan itu dilakoninya bertahun-tahun, sehingga suatu ketika tercetus ide untuk berjualan sate.

Rangga dan Cinta sedang menyantap sate klatak Pak Bari dalam adegan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. (Istimewa)
Tahun 1945, Mbah Ambyah memulai usaha jualan sate di Pasar Jejeran, Bantul. Satenya adalah sate kambing dengan bumbu minimalis yang kita kenal sekarang. Mbah Ambyah berinisiatif menggunakan jeruji sepeda sebagai sujen satenya dengan pertimbangan, selain tidak mudah patah saat proses pembakaran sate, juga jeruji dapat mengantarkan panas sehingga daging satenya bisa lebih matang secara merata.

Soal nama satenya, Mbah Ambyah tidak pernah memberikan pengertian khusus tentang nama “sate klathak”. Mbah Ambyah pun tidak ambil pusing dengan nomenklatur satenya itu. Namun, di kalangan penggemar satenya, muncul dua versi asal-usul nama sate klathak, yang dituturkan dari mulut ke mulut.

Versi pertama menyebutkan, penamaan klathak dikaitkan dengan bunyi suara yang keluar saat sate dibakar. Saat proses pembakaran sate, bara api dari arang yang beradu dengan jeruji sepeda menimbulkan bunyi kemretek atau gemeretak. Dari bunyi thak thak itulah lantas disebut klathak.

Adapun versi kedua menyebutkan, penamaan klathak dikaitkan dengan saat orang makan sate ini. Orang yang makan sate kreasi Mbah Ambyah ini ibaratnya sedang nglethak (menggigit) sate yang ada di bilah jeruji sepeda. Sehingga dari kata nglethak itu disebutlah klathak.

Entah versi mana yang lebih tepat, sepertinya para penggemar sate klathak pun tak pernah ambil pusing dengan asal usul penamaan itu—sebagaimana Mbah Ambyah sendiri sebagai kreatornya. Yang pasti, sate klathak telah menjadi bagian dari khazanah kuliner Jogjakarta yang banyak diburu pelancong.

Menyantap Sate Klathak Pak Jede

Sate klathak yang ikonis dan populer membuat perjalanan kuliner saya tak terhindarkan untuk tidak mencicipi kuliner khas Jejeran, Bantul, itu. Karenanya, suatu malam, bertahun lalu sekitar bulan Desember 2018, saat hujan mengguyur kota Jogjakarta, saya bersama istri dan kedua anak perempuan saya—kebetulan sedang liburan di Jogjakarta, memutuskan untuk menjadikan sate klathak sebagai menu santap malam.

Saya dan kedua anak perempuan saya saat menikmati sate klatak Pak Jede. (Badiatul Muchlisin Asti)
Inginnya sih meluncur ke pasar Jejeran, tempat di mana dulu Mbah Ambyah memulai berjualan sate klathak. Di sana ada sate klathak Pak Bari—generasi ketiga dari keluarga besar Mbah Ambyah. Warung sate Pak Bari terletak di dalam pasar Jejeran, tepatnya di Pasar Wonokromo, Jalan Imogiri Timur No. 5, Wonokromo, Pleret, Bantul, Jogjakarta.

Jejak sejarah yang panjang dan melegenda serta keunikan sate klathak menjadikan warung sate Pak Bari pernah menjadi salah satu lokasi syuting film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. Dalam film tersebut, terdapat fragmen Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian sastrowardoyo) tengah menikmati kelezatan sate klathak di tempat makan yang begitu sederhana itu.

Kabarnya, sejak digunakan sebagai lokasi syuting AADC 2, warung sate klathak Pak Bari semakin populer dan pengunjungnya semakin banyak. Kabarnya juga, para seniman Jogjakarta sering ke warung sate Pak Bari, termasuk budayawan Butet Kartaredjasa.

Sayang, suasana Jogjakarta yang diguyur hujan deras dan lokasi yang terlampau jauh dari paviliun tempat kami menginap, menjadikan kami mengurungkan niat untuk menuju ke pasar Jejeran—tempat warung sate klathak Pak Bari berada. Akhirnya, saya mencari sate klathak terdekat, dalam arti yang terjangkau secara jarak.

Dari selancar di dunia maya, sate klathak recommended dan terdekat adalah Sate Klathak Pak Jede, yang beralamat di Jalan Nologaten No. 46, Nologaten, Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman. Maka, kami pun meluncur dari paviliun tempat kami menginap menuju ke Sate Klathak Pak Jede, menerobos hujan yang menggyur Kota Jogja dengan naik GrabCar.

Berfoto dengan karyawan yang mengelola Sate Klatak Pak Jede. (Badiatul Muchlisin Asti)
Sesampai di lokasi, kami segera masuk ke warung sate klathak Pak Jede yang luas. Sudah banyak pengunjung, tapi masih ada beberapa meja yang kosong—yang salah satunya segera kami tempati. Kami memesan beberapa porsi sate klathak. Inilah untuk pertama kalinya saya menyantap sate klathak yang kemasyhurannya sudah lama saya ketahui.

Sate klathak Pak Jede termasuk ‘pendatang baru’ dalam dunia persatean klathak, karena baru eksis sejak 2013. Dari sisi geografis, sate klathak Pak Jede hadir di tengah Kota Jogjakarta, tidak di kawasan Imogiri, Bantul, yang menjadi lokus awal kuliner ini berasal—sehingga di sini banyak dijumpai penjual sate klathak.

Namun, justru di situlah sisi strategisnya. Para pelancong tak harus meluncur ke Imogiri yang lumayan jauh untuk bisa mencicipi sate klathak. Karena di tengah kota Jogjakarta, toh sate klathak khas Jejeran juga bisa ditemui.

Sate Klathak Pak Pong yang Lezat

Namun, perburuan saya terhadap sate klathak tak berhenti dengan telah menyantap sate klathak Pak Jede. Saya masih didera penasaran untuk menyantap sate klathak langsung dari Jejeran. Karena itu, sekira setahun kemudian (2019), saat saya berkesempatan lawatan ke Jogjakarta, saya manfaatkan kesempatan untuk berburu sate klathak di daerah Jejeran.

Karena siang hari, sate klathak Pak Pong yang saya pilih. Tak salah, karena sate klatak Pak Pong juga sangat masyhur kelezatannya.

Sate klatak Pak Pong juga sangat masyhur kelezatannya. (Badiatul Muchlisin Asti
Warung sate klathak Pak Pong beralamat di Jalan Sultan Agung 18, Jejeran II, Wonokromo, Pleret, Bantul—tak jauh dari kawasan Imogiri. Saat saya tiba di warung sate klathak Pak Pong, pengunjung sudah sangat ramai. Maklum, saya datang saat jam makan siang. Saya pun harus rela antre cukup lama.

Namun, di sela antre itulah, justru saya manfaatkan untuk meminta izin melihat proses pembuatan sate klathak. Saya pun mengabadikannya dengan memotret beberapa tahap proses pembuatan sate klathak, yaitu saat penusukan daging ke sujen, saat perendaman daging ke bumbu, dan saat pembakaran sate.

Setelah dapat giliran dan pesanan saya tiba, saya pun menyantap dengan lahap seporsi sate klathak dan seporsi  thengkleng yang memang sungguh lezat. Pantas bila pengunjungnya banyak dan rela antre.

Proses pembakaran sate klatak Pak Pong. (Badiatul Muchlisin Asti)

Sate Pak Pong di Jalan Sulatan Agung 18, Jejaran II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Jogjakarta. (Badiatul Muchlisin Asti)

Selain sate klathak Pak Bari, Pak Jede, dan Pak Pong, tentu masih banyak sate klathak enak lainnya di Jogjakarta. Kelezatan sate klathak yang masyhur mengingatkan saya akan perkataan Mbah Ambyah sebagai kreator dan pencetus sate klathak, kepada Zabidi—anaknya, saat Zabidi ikut membantu ayahnya berjualan sate klathak di Pasar Jejeran.

“Sate klathak bukan varian sate baru, melainkan asli dibikin buat memudahkan dan mengingatkan akan sesuatu yang suatu saat akan ngangeni (bikin rindu),” begitu ujaran Mbah Ambyah yang selalu terngiang di telinga Zabidi, seperti dikutip oleh Syafaruddin Murbawono dalam bukunya yang berjudul Monggo Mampir, Mengudap Rasa Secara Jogja (2009).

Mbah Ambyah benar. Sate klathak kini telah menjadi bagian penting dalam khazanah kuliner Jogjakarta yang senantiasa dirindukan.

Daftar Isi

 


 


Formulir
Tautan berhasil disalin