![]() |
Soto esto dengan pelengkap perkedel, tempe goreng, dan aneka sate. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Tulisan ini adalah bagian kedua dari tiga tulisan memoar saya menjelajah kuliner bersejarah khas Salatiga. Silakan baca bagian pertama bila belum membacanya: Sarapan Nasi Tumpang Koyor Mbah Rakinem, Kuliner Bersejarah Khas Salatiga Sejak 1950
Di Jawa Tengah, beberapa daerah populer dengan kuliner sotonya, seperti Kudus (soto Kudus), Pati (soto Kemiri), Semarang (soto Semarang), Kebumen (soto Petanahan), Tegal (sauto), Pekalongan (tauto), Boyolali (soto seger), Blora (soto kletuk), dan lain sebagainya. Salatiga juga memiliki kuliner soto meski tak secara spesifik disebut sebagai soto khas Salatiga.
Ada beberapa soto terkenal di Salatiga, di
antaranya soto
Parmoso, soto
Kesambi, soto
Cak Kur, soto
Reksa, soto
Pak Iket, dan soto Esto. Dua di antara soto yang saya sebutkan itu, masuk ke dalam 10
Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) Salatiga, yaitu soto Kesambi dan soto Esto.
Akhirnya, soto Esto yang saya pilih sebagai destinasi kuliner
bersejarah kedua dalam lawatan ke Salatiga kali ini. Setelah jeda sejenak dari
menyantap seporsi tumpang koyor Mbah Rakinem, saya memanfaatkan kesempatan meluncur ke Jalan
Langensuko—tempat soto Esto berada. Kebetulan jadwal saya mengisi acara literasi bakda
zuhur.
Soto Esto Sejak Tahun 1940
Seperti telah saya sampaikan, soto Esto masuk sebagai
salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah Salatiga (Salatiga Culinary Heritage).
Karena itu, selepas tandas menyantap seporsi soto Esto, saya segera menemui Sulasmi—generasi
kedua penerus soto Esto. Saya ingin mengulik sejarah soto Esto langsung dari sumbernya.
![]() |
Berfoto di depan Kedai Soto Esto di Jalan Langensuko 4, Salatiga. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Saat Martosetiko masih berjualan keliling,
kelezatan sotonya memikat lidah para kru Bus Esto. Sehingga mereka menjadikan
soto itu sebagai langganan. Pelanggan yang semakin ramai—tidak hanya dari kru
Bus Esto, membuat pemilik bus memberikan tempat berjualan di depan garasi pada
tahun 1953. Sejak saat itu, Martosetiko tak perlu berjualan keliling lagi.
Esto sendiri merupakan nama bagi perusahaan
otobus legendaris di Salatiga yang tercatat telah berdiri sejak zaman kolonial
Belanda. Purwanti Asih Anna Levi dalam artikel “Esto, Bus Legendaris
Salatiga” (Kompasiana, 2/2/2015) menyebutkan, cikal bakal Esto
adalah perusahaan transportasi pertama di Salatiga yang didirikan pada 1921
oleh Kwa Tjwan Ing.
![]() |
Sebuah foto jadul yang memperlihatkan Warung Soto Esto saat masih di depan garasi Bus Esto. (Sejarah Transportasi/Facebook) |
Nama itu diberikan oleh para pembeli untuk
mempermudah menyebut soto langganan mereka. Jadilah, nama soto Esto tersemat hingga sekarang—meski pada tahun 2009 pindah
berjualan ke tempatnya yang sekarang, yaitu di Jalan Langensuko 4 Salatiga
atau belakang Grand Wahid Hotel.
Tahun 1991, Soto Esto diwariskan ke generasi
kedua, Sulasmi, yang mengelola soto Esto hingga sekarang.
Sejarah yang panjang menjadikan soto Esto ditetapkan sebagai salah satu dari 10 kuliner bersejarah Salatiga.
Soto Santan dengan Toping Kerupuk Karak
Soto Esto sendiri adalah soto bersantan dengan
kuah berwarna kekuningan—karena penggunaan kunyit dalam bumbunya. Cita rasanya gurih, namun gurihnya lembut
dengan rasa rempah yang kuat. Proteinnya menggunakan ayam kampung—yang ini
menjadi ciri khas yang tetap dipertahankan.
![]() |
Soto esto, soto santan dengan toping kerupuk karak. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Sebagaimana sajian soto pada umumnya, soto Esto juga dilengkapi
berbagai lauk sebagai pendamping menyantap soto, yaitu berupa aneka sate
seperti sate ayam dan sate telur puyuh; juga gorengan seperti perkedel dan
tempe goreng.
Warung Soto Esto buka mulai jam 06.00 hingga
jam 13.00. Bila datang dan ingin mencicipi soto Esto usahakan pagi, karena kalau siang bisa
jadi sotonya sudah habis. Soto Esto sangat cocok disantap selagi panas atau
hangat, sebagai menu sarapan atau makan siang, di tengah kondisi Kota Salatiga
yang berhawa dingin.
Selepas dari Soto Esto, saya bertolak menuju
Masjid Raya Darul Amal Salatiga untuk menunaikan jemaah salat Zuhur. Setelah
itu, bergegas menuju lokasi tempat acara literasi—yang menjadi tujuan utama
saya melawat ke Salatiga. (Bersambung)
Baca tulisan berikutnya: Membeli Getuk Kethek, Oleh-oleh Khas Salatiga yang Ikonis Sejak Tahun 1965