GpOpBUdpGSz7TfA0TSG7TpAlTi==

Headline:

Mengenang Mbah Jinem: Sang Ahli Ibadah dan Rahasia Kesehatannya

Kolase foto Mbah Marto dan Mbah Jinem tahun 1975.

Sejak tahun lalu, kami bersepakat untuk mengadakan nyadran (baca: ziarah kubur) ke makam Mbah Marto Dipuro Sirin—kakek kami—setiap menjelang bulan Ramadan. Selain sebagai momentum membangun kebersamaan, juga dalam rangka mendoakan leluhur kami itu.

Ahad (23/2/2025) adalah nyadran kami tahun kedua. Selepas Ashar, sekitar pukul 15.30, kami langsung menuju titik kumpul di makam Mbah Marto yang terletak di pemakaman umum Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan.

Tidak seperti saat kami menghelat acara halal bihalal keluarga setiap tanggal 2 Syawal yang diikuti seluruh cucu-cicit, termasuk yang tinggal di luar kota, nyadran hanya diikuti cucu-cicit yang tinggal di kampung halaman dan sekitarnya.

Suasana nyadran kami tahun ini pada Minggu (23/2/2025) di pemakaman umum Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Grobogan. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)
Setelah berkumpul, kami pun membacakan rangkaian zikir (tahlil) yang dipimpin Hilman Abrori—keponakan yang tinggal di Desa Kalipang, Kecamatan Gabus. Adapun doa, dipimpin oleh Pakdhe Sujirun sebagai yang tersepuh di antara kami.

Pakdhe Sujirun—atau kami biasanya memanggilnya Pakdhe Modin, dan ibu saya, Sunarti, adalah anak Mbah Marto yang masih hidup. Selainnya sudah meninggal dunia.

Selesai doa, kami pun meninggalkan pemakaman, menuju titik kumpul berikutnya, yaitu di rumah ibu saya. Di sana, sudah terhidang makanan untuk kami santap bersama.

Seusai ziarah, kami makam bersama di rumah ibu, dengan menu sederhana khas desa, tapi kami sangat menikmatinya. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)
Seperti tahun lalu, hidangan tahun ini masih serba bersahaja. Hidangan yang tersedia adalah menu masakan Jawa atau lebih tepatnya menu ndeso. Nasi, sayur lodeh, urap sayur, dan oseng gereh lombok ijo, dengan lauk tahu dan tempe goreng. Tak ada protein hewani. Tapi kami melahapnya dengan sepenuh antusias. Apalagi makan bareng-bareng, tambah gayeng dan sedep.

Nanti, tanggal 2 Syawal, kami akan berkumpul lagi di rumah ibu saya ini untuk halal bihalal keluarga besar Mbah Marto (dan Mbah Bejo). Tentu lebih ramai dan meriah. Karena yang dari luar kota, luar provinsi, bahkan luar Jawa, juga akan ikut merapat.

Halal bihalal keluarga rutin setiap 2 Syawal itu sudah diadakan sejak lama, sejak akhir tahun 1980-an saat Mbah Marto masih sugeng.  

Mbah Jinem: Teladan Ibadah

Setiap pulang ke rumah, ada yang selalu saya kenang, karena kenangan itu begitu dalam, yaitu kebersamaan dengan nenek saya: Mbah Jinem.

Ibu saya adalah anak ragil dari pasangan Mbah Marto dan istrinya, Mbah Jinem. Dalam tradisi Jawa, anak ragil biasanya mewarisi rumah milik orangtuanya. Begitu juga ibu saya. Mewarisi rumah simbah saya, Mbah Marto dan Mbah Jinem.

Sehingga sejak kecil, saya dekat dengan kedua simbah saya itu, karena mereka memang tinggal serumah dengan saya. Tapi soal kedekatan itu, saya lebih dekat, terutama secara batin, dengan Mbah Jinem—atau saya lebih akrab memanggilnya Mbah Rayi—ketimbang dengan Mbah Marto—yang saya lebih akrab memanggilnya Mbah Roko.

Waktu masih kecil, SD, saya biasa tidur dengan Mbah Rayi di kamarnya yang terpisah tapi berdempetan dengan kamar Mbah Roko. Menjelang tidur, Mbah Rayi biasanya mengajak saya ngobrol, kadang bercerita tentang kehidupan Mbah Rayi di masa lalu.

Mbah Rayi tidak bisa atau lebih tepatnya tidak piawai menceritakan kisah para nabi dan rasul. Bahkan sekadar mendongengkan kisah kancil nyolong timun pun juga kedodoran, karena memang Mbah Rayi tidak pernah mengeyam bangku sekolah. Mbah Rayi juga buta huruf. Beda dengan Mbah Roko yang anak orang kaya dan mengenyam bangku sekolah: SR.

Tapi, di mata saya, Mbah Rayi adalah teladan dalam ibadah. Beliau adalah murid thariqah Mbah Kiai Sidi—adik iparnya sendiri karena Mbah Kiai Sidi adalah adik kandung Mbah Marto. Sejak saya mengenalnya (setelah saya mumayyiz), Mbah Rayi adalah ahli ibadah yang tekun. Beliau tak pernah meninggalkan ibadah. Jangankan salat fardu lima waktu, salat sunah duha dan tahajud tak pernah ditinggalkannya.   

Waktu saya SD dan sering tidur bersama Mbah Rayi, saat saya nglilir, saya selalu mendapati Mbah Rayi tenggelam dalam kekhusyukan dan kenikmatan qiyamul lail dan zikrullah. Begitu itu setiap malam, dan tak pernah ada satu malam pun yang terlewat tanpa qiyamul lail.

Saya tahu itu, karena di kamar Mbah Rayi terdapat dua dipan. Satu dipan dengan kasur untuk tidur. Satunya lagi dipan tanpa kasur, dengan ukuran yang lebih kecil, sebagai tempat Mbah Rayi mendirikan salat. Sehingga begitu saya nglilir, saya langsung bisa menyaksikan simbah putri saya itu sedang khusyuk salat atau berzikir.

Rajin Puasa Sunah

Selain salat, Mbah Rayi juga rajin puasa, baik puasa wajib maupun sunah. Mbah Rayi rajin puasa Senin-Kamis. Nyaris tak pernah terlewat. Mbah Rayi juga tak pernah melewatkan puasa sunah enam hari bulan Syawal.

Hebatnya, Mbah Rayi selalu puasa sunah enam hari bulan Syawal itu dimulai sejak tanggal 2 hingga 7 Syawal secara berturut-turut. Sehingga tanggal 8 Syawal benar-benar merupakan hari raya kecil bagi Mbah Rayi, karena telah menjalankan puasa sunah selama enam hari, yang dalam tradisi Jawa dirayakan dengan kupatan.

Setelah saya besar dan paham syariat, saya menjadi tahu, bahwa puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang besar. Kata Kanjeng Nabi, seperti puasa sepanjang tahun.

Ù…َÙ†ْ صَامَ رَÙ…َضانَ Ø«ُÙ…َّ Ø£َتَبَعَÙ‡ُ سِتًّا Ù…ِÙ†ْ Ø´َÙˆَّالٍ كانَ كصِÙŠَامِ الدَّÙ‡ْرِ

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (ganjaran) puasa selama setahun penuh." (HR. Muslim)

Meski puasa enam hari bulan Syawal boleh dilakukan secara tidak berurutan alias terpisah-pisah sepanjang masih di bulan Syawal, namun menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Mubarak, mengerjakannya di awal bulan dan berurutan lebih afdhal.

Saya baca di kitab Fiqh Islam wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili dikatakan, puasa enam hari di bulan Syawal boleh dikerjakan secara terpisah-pisah, tapi lebih afdhal dilakukan berurutan dan langsung setelah hari raya, sebab itu berarti menyegerakan ibadah.

Begitupun saya baca di kitab Fiqh Sunah karya Sayyid Sabiq, mengutip pendapat para ulama mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, yang lebih utama puasa enam hari di bulan Syawal dilakukan berurutan dimulai hari kedua setelah hari raya.

Dan Mbah Rayi telah meraih keutamaan itu dengan baik hingga wafatnya. Itulah teladan yang selalu saya kenang dan menjadi motivasi saya. 

Dulu, sewaktu masih bujang, saya sering membersamai Mbah Rayi melakukan puasa sunah itu, baik puasa Senin-Kamis maupun puasa Syawal. Tapi setelah menikah dan sok sibuk, aduhai betapa beratnya menempuh jalan ibadah simbah putri itu. 

Belakangan saya menginsyafi kegenialan Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengagas tradisi kupatan, yang sesungguhnya secara tersirat merupakan motivasi untuk berpuasa di bulan Syawal di awal bulan sehari persis setelah hari raya dan secara berurutan. Karena kupatan sesungguhnya adalah lebarannya mereka setelah menjalankan puasa sunah itu.

Malu seharusnya bila semangat merayakan lebaran ketupat, tapi tak puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Semoga Allah memberi kita karunia hidayah dan inayah-Nya agar kita mampu menjalankan ibadah sunah itu. Aamiin.

Rahasia Kesehatan Mbah Rayi

Suatu malam, seperti biasa, Mbah Rayi bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudu. Jam masih menunjukkan pukul 22.00. Tapi karena Mbah Rayi merasa sudah tidur sebelumnya, maka beliau bilang akan salat tahajud sekalian, mumpung bangun. Ketika itu, Mbah Rayi tinggal di rumah Pakdhe Modin—rumahnya persis depan rumah ibu.

Mbah Rayi lama sekali di kamar mandi, sehingga membuat pakdhe dan budhe khawatir. Benar saja, setelah pintu kamar mandi diketuk berkali-kali tidak ada respons, akhirnya pintu yang dikunci dari dalam itu didobrak. 

Apa yang terjadi? Didapati Mbah Rayi dalam posisi jongkok sedang buang air besar dan tangannya pegangan ke dinding kuat-kuat, namun sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri. Akhirnya, setelah dibersihkan, Mbah Rayi diangkat menuju tempat tidur. 

Saya berdoa di makam Mbah Marto dan Mbah Jinem. Mbah Jinem dimakamkan persis di sebelah makam Mbah Marto, suaminya. (Dok. Badiatul Muchlisin Asti)
Keesokan harinya, Mbah Rayi telah sadarkan diri dan menurut cerita ibu, bisa diajak ngobrol, bahkan sempat makan. Tapi, itu ternyata hari terakhir Mbah Rayi, karena hari berikutnya, Mbah Rayi kembali tak sadarkan diri dan akhirnya meninggal dunia, pulang ke haribaan Rabb yang dicintainya.

Mbah Rayi meninggal dunia pada hari Rabu Pon, 17 Mei 2000 M atau 13 Shafar 1421 H, menjelang magrib. Menurut hitung-hitungan ibu, Mbah Rayi meninggal dunia di atas usia 90 tahun. Selama hidupnya, Mbah Rayi jarang sakit. 

Menurut saya, itu karena Mbah Rayi hidup bersahaja dan nriman serta pikirannya semeleh. Ketekunannya ibadah, baik salat maupun puasa, tentu juga koentji kesehatannya. Tapi Mbah Rayi punya jawaban tersendiri dan tak terduga, terkait rahasia sehatnya. 

Suatu saat Mbah Salman (KH. Salman Dahlawi, Popongan, Klaten) berkunjung ke masjid dekat rumah bersama istrinya. Ketika istri Mbah Salman melihat Mbah Rayi yang di usia tua masih sehat wal afiat, beliau pun bertanya apa resep sehatnya? Dan inilah jawaban Mbah Rayi, “Nngunjuk wiji maoni”. 

Iya, begitulah simbah putri saya. Simbah bersahaja, tipe perempuan Jawa khas desa tempo dulu yang lugu, namun teladan yang banyak menginspirasi. Lahal faatihah.

   

Daftar Isi

 


 


Formulir
Tautan berhasil disalin