Suasana di salah satu sudut Pasar Djaten di kompleks objek wisata Sendang Goa Sinawah, Desa Kronggen, Kecamatan Brati, Grobogan. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Sejak dilaunching Pasar Djaten di kompleks objek wisata Sendang Goa Sinawah di Dusun Sinawah, Desa Kronggen, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, saya sudah berniat dan mengagendakan mengunjunginya. Baru Ahad Pahing (1/12/2024) saya kesampaikan mengunjungi Pasar Djaten.
Pasar Djaten adalah pasar digital yang diadakan selapan sekali setiap hari Ahad Pahing. Sebagaimana pasar digital pada umumnya, transaksi yang digunakan di pasar ini menggunakan koin yang terbuat dari kayu.
Pengunjung yang ingin berbelanja dan kulineran di pasar ini harus menukarkan terlebih dahulu uangnya dengan koin kayu yang disediakan pengelola. Tempat penukaran uang dengan koin terletak di depan gapura masuk kompleks wisata Sendang Goa Sinawah. Per koin senilai Rp 2.000.
Sarapan Sega Bocong
Konsep pasar digital pada umumnya memang menawarkan pelbagai kuliner tradisional. Termasuk di Pasar Djaten ini. Ada banyak kuliner tradisional dijajakan di lapak-lapak pasar ini.
Saya tiba di parkiran objek wisata Sendang Goa Sinawah sekitar pukul 06.45. Setelah menukar uang ke tempat penukaran koin, saya bergegas masuk ke kompleks pasar. Misi awal saya: cari sarapan pengganjal perut.
Saya berfoto dengan membawa sebungkus sega bocong di tangan kanan dan tangan kiri saya memegang besek yang berisi koin kayu untuk bertransaksi di Pasar Djaten. (Teguh Arseno) |
Pilihan saya jatuh pada sega bocong yang terdapat di sebuah lapak. Dinamakan sega bocong karena cara membungkus nasinya dengan cara dibocong. Saya kira di dalam nasi bocong sudah ada lauk pelengkapnya seperti nasi kucing.
Ternyata tidak. Nasi bocong hanya berisi nasi saja yang dibungkus daun pisang dengan cara dibocong. Jadi untuk menyantapnya harus beli pelengkap lainnya. Saya pun membeli sepotong mendoan dan sebungkus garang asem.
Menyantap sebungkus sega bocong dilengkapi sepotong mendoan dan seporsi kecil garang asem sudah cukup untuk sarapan pagi ini. Sarapan yang berbeda karena menyantapnya di sebuah tempat yang ditumbuhi pepopohan jati dan mahoni yang besar-besar.
Rindang dan begitu syahdu.
Minumnya? Saya tidak membiasakan minum menyertai makan. Kapan-kapan saya ceritakan soal kebiasaan ini.
Berburu Kuliner Jadul
Semakin beranjak siang, pengunjung Pasar Djaten semakin ramai. Umumnya mereka datang dengan keluarga. Tak sedikit yang datang bersama teman komunitas. Di antaranya komunitas pesepeda.
Mbak Ning, salah satu pelapak Pasar Djaten yang menjual gobet, kudapan tradisional dari singkong. (Badiatul Muchlisin Asti)
Lapak-lapak pun dikerubuti pengunjung. Mereka antusias untuk membeli kuliner yang mungkin sudah mereka incar sebelumnya.
Apa saja kuliner tradisional yang ditawarkan di pasar digital ini? Banyak. Di antaranya yang sempat saya catat ada getuk dengan sejumlah variannya, tiwul, gobet, jenang kerut, kenyol, pelas, buntil, rujak serut, dan banyak lagi.
Untuk minumannya saya mencatat yang paling menonjol ada dawet puli dan wedang cempe. Karena penasaran, saya pun mencicipi keduanya.
Dawet pulinya enak. Manisnya pas dari gula jawa. Adapun wedang cempe, yang disebut-sebut sebagai minuman khas Brati, adalah wedang rempah yang diramu dari sekian jenis rempah.
Tiga orang bapak-bapak dari komunitas pesepeda memperlihatkan wedang cempe yang disebut-sebut sebagai wedang rempah khas Brati. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Wedang cempe sangat nikmat diseruput selagi hangat. Cita rasa rempahnya sangat terasa. Selain membuat tenggorakan lega, juga menghangatkan badan.
Tapi segelas wedang cempe terpaksa tak bisa saya tandaskan karena sebelumnya saya sudah mencicipi semangkuk dawet puli dan seporsi gobet. Perut saya tak kuasa menampung banyak makanan.
Tapi tahu gak sih, kenapa wedangnya dinamakan wedang cempe? Bukannya cempe itu sebutan untuk anak kambing.
Dari penuturan sang peracik, Mbah Partini, dinamakan wedang cempe karena ia meramban bahan membuat wedang di pekarangan rumahnya. Ibarat seekor cempe yang sedang mencari makan. Dari situlah nama wedang cempe, menurutnya, berasal.
Ada ada saja ya. Tapi menarik juga ya namanya, bikin penasaran.
Selain yang telah saya sebut, penyuka lontong akan dimanjakan di pasar digital ini. Bisa pilih lontong lodeh, lontong pecel, atau lontong campur.
Bagi yang tak suka lontong, tenang, nasi juga tersedia kok. Selain dengan lodeh dan pecel, nasi juga bisa dinikmati dengan sayur pindang, urap, dan brambang asem.
Sega jagung sayur lemen (yuyu sawah) termasuk yang paling laris diserbu pengunjung sehingga paling cepat habis. (Badiatul Muchlisin Asti) |
Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan waktu baru beranjak dari pukul 08.00, tapi sega jagung kuning sayur lemen sudah ludes duluan. Karena saya tidak memakan sayur yuyu, saya hanya mengabadikannya dalam foto.
Pemberdayaan Ekonomi Warga
Saat kunjungan di Pasar Djaten, saya bertemu dengan sosok nyentrik yang terkenal dengan nama Mbah Ceper (44). Dialah sosok di balik penyelenggaraan Pasar Djaten.
Menurut Mbah Ceper, ide penyelenggaraan Pasar Djaten berawal dari objek wisata Sendang Goa Sinawah yang sepi pengunjung imbas dari pageblug COVID-19. Sepinya pengunjung membuat dirinya ekstra berpikir agar para pelapak yang biasa mangkal di sekitar objek wisata Sendang Goa Sinawah tetap bisa berjualan.
Maka terpikirlah membuat pasar digital seperti yang bisa kita temui di Temanggung yang ada Pasar Papringan.
Menurut Mbah Ceper, ada 30-an pelapak yang berjualan di Pasar Djaten. Semuanya warga lokal karena misi utama digelarnya Pasar Djaten merupakan upaya pembedayaan ekonomi warga. Mbah Ceper optimis pasar Djaten yang digagasnya akan terus eksis dan berkembang.
Saya memutuskan pulang dari Pasar Djaten tepat pukul 08.30 dan pengunjung masih ramai dan berjubel.